Karya : Lidwina Sabina Ayke
“Hai, tumben dateng
pagi”
Aku menyapanya
saat kami berpapasan di ambang pintu kelas. Kepalanya tertunduk. Niatku untuk
meninggalkan kelas pun pudar. Aku mulai mengamatinya dari ambang pintu. Dia berjalan
menuju tempat duduk favoritnya. Pojok kiri belakang. Langkahnya Dia melepas tasnya dari pundaknya dan
menjatuhkannya di samping tempat duduknya. Aku hanya bisa memandanginya dari
ambang pintu.
“kamu kenapa?
Belakangan ini pagi-pagi udah cemberut aja. Eh malem ini purnama lho. Mau
nginep rumahku nggak?”
Ekspesi murung
itu langsung berubah menjadi riang sketika. Senyuman menghiasi wajahnya yang munggil. Matanya yang
menatapku dengan penuh harap. Aku berjalan dari ambang pintu mendekatinya.
“gitu dong senyum dari kemaren murung terus. Ada apa sii?”
Senyum itu tiba-tiba berbalik menjadi murung seperti sebelumnya. Ada
perasaan bersalah yang hinggap di dadaku. Aku menyesal menanyakan itu padanya.
Mungkin seharusnya aku menunggunya sampai dia siap bercerita padaku. Menunggu
hingga waktunya tiba.
***
Namanya Ratu.
Dia sahabatku sejak aku SD. Ibunya sangat baik padaku begitu juga ibuku
padanya. Aku sering kali
merasa diperlakukan seperti anak kangdung oleh ibunya. Aku masih menjadi sahabat terdekatnya walaupun
hatiku sering jatuh saat dia memberi perhatian lebih padaku. Mungkin
baginya perhatian itu wajar. Tapi bagiku itu merupakan sebuah harapan.
“Bunda, nanti
Ratu jadi nginep disini.” Ucapku setengat berteriak dari ruang tempat bersantai
“Ciee kakak.” Ledek
ibuku dari dapur.
***
Entah ini jam
berapa. Aku tidak terlalu peduli pada waktu jika purnama tiba. Aku terus
memandanginya tanpa henti. Cahayanya membawa imajinasiku terbang bebas.
Keindahannya membuatku terpikat. Seluruh bebanku seketika hilang diganti dengan
rasa damai yang memenuhi pikiranku.
“ Kamu kenapa
suka bulan?” tanyaku memecah keheningan.
“Gatau sii
pastinya. Tapi dulu waktu aku kecil, ayah selalu ajak aku liat bulan kayak
gini. Bahkan biasanya kami ketiduran di sini. Mungkin dengan ngeliat bulan bisa
ngobatin kangenku sama ayah. Kalo kamu sediri kenapa suka bulan?” Tanyanya
sambil memandangku.
Tanpa sengaja
mata kami bertemu untuk beberapa detik. Aku merasa dunia berhenti berputar
sejenak. Jantungku berdetak cepat. Aku mengamati mata coklat itu dan aku jatuh
hati. Bibirku terasa membisu. Ingin kujawab pertanyaannya tapi mulutku seperti
terkunci rapat. Tenggorokanku juga terasa membeku. Tidak dapat mengucapkan satu
katapun. Aku kemudian memalingkan wajahku. Kami tidak lagi saling bertatap.
“Gatau kenapa
ya, tapi aku tu ngerasa dapet energy baru tiap kali aku liat bulan. Entah itu
bulan purnama atapun bukan. Aku ngerasa semua bebanku tu hilang seketika kalo
aku liat bulan. Apalagi kalo kayak malem ini nii. Bulannya bulet. Sinarnya
terang. Terus dihiasin awan tipis kayak male mini. Rasanya tu sayang kalo
ngelewatin bulan purnama walau cuma kelewat sekali aja.” Jelasku.
Malam itu kami
berdua tertidur pulas dengan angina malam yang sejuk. Di atas rerumputan hijau
dan beratapkan langit malam yang dihiasi cahaya purnama. Dengan orang yang
selalu bisa merubah moodku menjadi lebih baik.
***
“Yudha. Puranama
nii nginep rumahmu yaaa. Atau mau ke rumaku. Ehh rumahku aja” pintanya dengan
semangat yang membara.
Malam ini
purnama. Seperti biasanya, kami selalu menyempatkan untuk memandangi bulan
walaupun hanya sebentar. Hal ini selalu kami lakukan setiap bulan sejak kami
duduk di kelas 5 SD. Dulu kami bermain
terlebih dahulu. Baru setelah kami kelelahan, kami merebahkan badan kami di
rumput hijau di halaman rumah. Dan lama kelamaan pasti kami tertidur dan akan
terbangun keesokan harinya.
“ Eh yud”
ucapknya sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.
“ Apa Ratu” ucapku tenang dengan senyum yang kata orang memberikan keteduhan,
“Aku mau ngomong ntar di tagih ya. Ntar aku lupa lagi. Hehe” ucapnya nyengir
“ Apa Ratu” ucapku tenang dengan senyum yang kata orang memberikan keteduhan,
“Aku mau ngomong ntar di tagih ya. Ntar aku lupa lagi. Hehe” ucapnya nyengir
Senyumnya selalu
membuatku jatuh hati. Matanya yang selalu menatapku lekat seakan-akan berbicara
bahwa dia memiliki persaan yang sama denganku. Ah mungkin hanya hayalanku saja.
Aku tidak mau banyak berharap walaupun jelas dia memberi harapan padaku.
***
Mungkin ini
saatnya aku mengatakan padanya. aku tidak mau menundanya lagi.
“Yud, kalo aku
pergi gimana?” ucapku memecah keheningan malam itu
Dia hanya
terdiam. Terfokus pada lingkaran putih yang memancarkan sinar yang menerangi
malam itu. Ekspresinya sama sekali tidak berubah. Apakah apa dia tidak
memperdulikan keberadaanku? Apakah dia tidak akan kehilanganku bila aku tidak
aa? Pertanyaan itu memenuhi otakku sampai akhirnya kurasa jemariku menyentuk
sesuatu yang hangat. Lama kelamaan benda it uterus bergerak mengisi bagian
kosong dalam telapak tanganku. Dia menggenggam tanganku.
Aku tidak dapat
berucap apapun. Mulutku sanggat kaku untuk digerakkan. Akhirnya aku memutuskan
untuk terus memandang langit mengamati cahaya putih itu. Berharap semoga ini
bukanlah terakhir kalinya aku harus bertemu dengannya.
“Minggu depan
aku harus berangkat ke Austria. Maaf ya aku ninggal kamu. Aku kayaknya bakal
lama deh di sana. Banyak hal yang harus aku lakuin di sana. Dan kayaknya aku
bakal pindah”
Genggaman itu
mencengkram semakin erat. Aku bisa merasakan rasa kehilangan yang dia rasakan.
Rasa itu juga memenuhi dadaku malam ini. Aku tak sanggup mengakhiri malam ini,
“Dan setelah
ayah, kamu yang bakal pergi?” tanyanya dengan wajah murung yang membayangi
wajahnya.
Aku hanya bisa
terdiam
“Terus siapa
yang bakal nemenin aku nikmatin purnama? Please jangan pergi. Aku butuh kamu.
Aku takut aku ga bisa ketemu kamu lagi”
Kata-katanya
membuatku luluh. Aku sebenarnya tidak ingin meninggalkannya. Tetapi aku harus
pergi. Aku tidak tega bila ibuku harus tinggal sendirian di sana.
“Selama kita
masih nikmatin cahaya dari bulan yang sama, aku yakin kalo kita bakal ketemu
lagi” ucapku diikuti dengan linangan air mata.
***
Sudah 3 taun dia
pergi. Malam ini purnama dan seperti biasa aku hanya bisa memandanginya dari
jendela kamarku. Selain aku sudah tidak punya waktu untuk berbaring, aku juga
tidak ingin membiarkan diriku telarut oleh rasa kehilangan.
Aku
merindukannya. 3 tahun aku memandangi benda bulat bercahaya itu sendirian. Aku
selalu teringat tentangnya dan ayah jika aku menikmati sinarnya. “Cahaya bulan
tu bisa bikin imajinasiku kemana-mana”. Aku mengingat pernyataannya. Dan benar,
imajinasiku melayang membayangkan kejadian-kejadian indah yang menjadi kenanganku
tentang dia.
***
Sinarnya masih
sama dari hari ke hari. Dari pertama kali aku menikmati dengan ayah. Dan
pertama kalinya aku menikati dengannya. Dan malam ini. Sinarnya masih sama
indahnya. Masih membuatku tenang
Malam itu aku
menikati sinarnya dari jembatan yang ada di dekat rumahku. 8 tahun telah
berlalu sejak kepergiannya. Jangankan salam, kabarpun tidak ada. Aku
merindukannya. Kali ini aku menikmati purnama ditemani dengan kameraku. Beberapa
tahun terakhir ini dia yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Kadang aku
berandai-andai jika saja Ratu yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Tapi…
entahlah. Aku kehilangan dia
“Hai tumben bawa
kamera” ucapnya riang ke padaku.
Gadis itu cantik
dengan kemeja warna maroon dan celana jeans yang sobek di sana sini seperti
model kekinian. Senyumnya masih seperti dulu. Terbingkai dengan wajahnya yang
mungil. Dia adalah yang selama ini aku tunggu. Dan sesuai dengan harapanku
malam itu, sejak saat itu dia menemaniku kemanapun aku pergi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar