Jumat, 25 November 2016

Cerpen : Bulan Yang Sama



Karya : Lidwina Sabina Ayke
 

“Hai, tumben dateng pagi”
Aku menyapanya saat kami berpapasan di ambang pintu kelas. Kepalanya tertunduk. Niatku untuk meninggalkan kelas pun pudar. Aku mulai mengamatinya dari ambang pintu. Dia berjalan menuju tempat duduk favoritnya. Pojok kiri belakang. Langkahnya  Dia melepas tasnya dari pundaknya dan menjatuhkannya di samping tempat duduknya. Aku hanya bisa memandanginya dari ambang pintu.
“kamu kenapa? Belakangan ini pagi-pagi udah cemberut aja. Eh malem ini purnama lho. Mau nginep rumahku nggak?”
Ekspesi murung itu langsung berubah menjadi riang sketika. Senyuman menghiasi wajahnya yang munggil. Matanya yang menatapku dengan penuh harap. Aku berjalan dari ambang pintu mendekatinya.
“gitu dong senyum dari kemaren murung terus. Ada apa sii?”
Senyum itu tiba-tiba berbalik menjadi murung seperti sebelumnya. Ada perasaan bersalah yang hinggap di dadaku. Aku menyesal menanyakan itu padanya. Mungkin seharusnya aku menunggunya sampai dia siap bercerita padaku. Menunggu hingga waktunya tiba.
***
Namanya Ratu. Dia sahabatku sejak aku SD. Ibunya sangat baik padaku begitu juga ibuku padanya. Aku sering kali merasa diperlakukan seperti anak kangdung oleh ibunya. Aku  masih menjadi sahabat terdekatnya walaupun hatiku sering jatuh saat dia memberi perhatian lebih padaku. Mungkin baginya perhatian itu wajar. Tapi bagiku itu merupakan sebuah harapan.
“Bunda, nanti Ratu jadi nginep disini.” Ucapku setengat berteriak dari ruang tempat bersantai
“Ciee kakak.” Ledek  ibuku dari dapur.
***
Entah ini jam berapa. Aku tidak terlalu peduli pada waktu jika purnama tiba. Aku terus memandanginya tanpa henti. Cahayanya membawa imajinasiku terbang bebas. Keindahannya membuatku terpikat. Seluruh bebanku seketika hilang diganti dengan rasa damai yang memenuhi pikiranku.
“ Kamu kenapa suka bulan?” tanyaku memecah keheningan.
“Gatau sii pastinya. Tapi dulu waktu aku kecil, ayah selalu ajak aku liat bulan kayak gini. Bahkan biasanya kami ketiduran di sini. Mungkin dengan ngeliat bulan bisa ngobatin kangenku sama ayah. Kalo kamu sediri kenapa suka bulan?” Tanyanya sambil memandangku.
Tanpa sengaja mata kami bertemu untuk beberapa detik. Aku merasa dunia berhenti berputar sejenak. Jantungku berdetak cepat. Aku mengamati mata coklat itu dan aku jatuh hati. Bibirku terasa membisu. Ingin kujawab pertanyaannya tapi mulutku seperti terkunci rapat. Tenggorokanku juga terasa membeku. Tidak dapat mengucapkan satu katapun. Aku kemudian memalingkan wajahku. Kami tidak lagi saling bertatap.
“Gatau kenapa ya, tapi aku tu ngerasa dapet energy baru tiap kali aku liat bulan. Entah itu bulan purnama atapun bukan. Aku ngerasa semua bebanku tu hilang seketika kalo aku liat bulan. Apalagi kalo kayak malem ini nii. Bulannya bulet. Sinarnya terang. Terus dihiasin awan tipis kayak male mini. Rasanya tu sayang kalo ngelewatin bulan purnama walau cuma kelewat sekali aja.” Jelasku.
Malam itu kami berdua tertidur pulas dengan angina malam yang sejuk. Di atas rerumputan hijau dan beratapkan langit malam yang dihiasi cahaya purnama. Dengan orang yang selalu bisa merubah moodku menjadi lebih baik.
***
“Yudha. Puranama nii nginep rumahmu yaaa. Atau mau ke rumaku. Ehh rumahku aja” pintanya dengan semangat yang membara.
Malam ini purnama. Seperti biasanya, kami selalu menyempatkan untuk memandangi bulan walaupun hanya sebentar. Hal ini selalu kami lakukan setiap bulan sejak kami duduk di  kelas 5 SD. Dulu kami bermain terlebih dahulu. Baru setelah kami kelelahan, kami merebahkan badan kami di rumput hijau di halaman rumah. Dan lama kelamaan pasti kami tertidur dan akan terbangun keesokan harinya.
“ Eh yud” ucapknya sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.
“ Apa Ratu” ucapku tenang dengan senyum yang kata orang memberikan keteduhan,
“Aku mau ngomong ntar di tagih ya. Ntar aku lupa lagi. Hehe” ucapnya nyengir
Senyumnya selalu membuatku jatuh hati. Matanya yang selalu menatapku lekat seakan-akan berbicara bahwa dia memiliki persaan yang sama denganku. Ah mungkin hanya hayalanku saja. Aku tidak mau banyak berharap walaupun jelas dia memberi harapan padaku.
***
Mungkin ini saatnya aku mengatakan padanya. aku tidak mau menundanya lagi.
“Yud, kalo aku pergi gimana?” ucapku memecah keheningan malam itu
Dia hanya terdiam. Terfokus pada lingkaran putih yang memancarkan sinar yang menerangi malam itu. Ekspresinya sama sekali tidak berubah. Apakah apa dia tidak memperdulikan keberadaanku? Apakah dia tidak akan kehilanganku bila aku tidak aa? Pertanyaan itu memenuhi otakku sampai akhirnya kurasa jemariku menyentuk sesuatu yang hangat. Lama kelamaan benda it uterus bergerak mengisi bagian kosong dalam telapak tanganku. Dia menggenggam tanganku.
Aku tidak dapat berucap apapun. Mulutku sanggat kaku untuk digerakkan. Akhirnya aku memutuskan untuk terus memandang langit mengamati cahaya putih itu. Berharap semoga ini bukanlah terakhir kalinya aku harus bertemu dengannya.
“Minggu depan aku harus berangkat ke Austria. Maaf ya aku ninggal kamu. Aku kayaknya bakal lama deh di sana. Banyak hal yang harus aku lakuin di sana. Dan kayaknya aku bakal pindah”
Genggaman itu mencengkram semakin erat. Aku bisa merasakan rasa kehilangan yang dia rasakan. Rasa itu juga memenuhi dadaku malam ini. Aku tak sanggup mengakhiri malam ini,
“Dan setelah ayah, kamu yang bakal pergi?” tanyanya dengan wajah murung yang membayangi wajahnya.
Aku hanya bisa terdiam
“Terus siapa yang bakal nemenin aku nikmatin purnama? Please jangan pergi. Aku butuh kamu. Aku takut aku ga bisa ketemu kamu lagi”
Kata-katanya membuatku luluh. Aku sebenarnya tidak ingin meninggalkannya. Tetapi aku harus pergi. Aku tidak tega bila ibuku harus tinggal sendirian di sana.
“Selama kita masih nikmatin cahaya dari bulan yang sama, aku yakin kalo kita bakal ketemu lagi” ucapku diikuti dengan linangan air mata.
***
Sudah 3 taun dia pergi. Malam ini purnama dan seperti biasa aku hanya bisa memandanginya dari jendela kamarku. Selain aku sudah tidak punya waktu untuk berbaring, aku juga tidak ingin membiarkan diriku telarut oleh rasa kehilangan.
Aku merindukannya. 3 tahun aku memandangi benda bulat bercahaya itu sendirian. Aku selalu teringat tentangnya dan ayah jika aku menikmati sinarnya. “Cahaya bulan tu bisa bikin imajinasiku kemana-mana”. Aku mengingat pernyataannya. Dan benar, imajinasiku melayang membayangkan kejadian-kejadian indah yang menjadi kenanganku tentang dia.
***
Sinarnya masih sama dari hari ke hari. Dari pertama kali aku menikmati dengan ayah. Dan pertama kalinya aku menikati dengannya. Dan malam ini. Sinarnya masih sama indahnya. Masih membuatku tenang
Malam itu aku menikati sinarnya dari jembatan yang ada di dekat rumahku. 8 tahun telah berlalu sejak kepergiannya. Jangankan salam, kabarpun tidak ada. Aku merindukannya. Kali ini aku menikmati purnama ditemani dengan kameraku. Beberapa tahun terakhir ini dia yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Kadang aku berandai-andai jika saja Ratu yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Tapi… entahlah. Aku kehilangan dia
“Hai tumben bawa kamera” ucapnya riang ke padaku.
Gadis itu cantik dengan kemeja warna maroon dan celana jeans yang sobek di sana sini seperti model kekinian. Senyumnya masih seperti dulu. Terbingkai dengan wajahnya yang mungil. Dia adalah yang selama ini aku tunggu. Dan sesuai dengan harapanku malam itu, sejak saat itu dia menemaniku kemanapun aku pergi.

 ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar